Palestina, 5
Kami tak perlu peluru untuk memburu ikan-ikan
di Laut Mediterania, tapi, kenapa kau arahkan
juga senapan mesin itu ke lampung perahu kami?
Tanpa perahu, haruskah mengemis di jalan Gaza?
Kami cuma menjaring ikan-ikan untuk makan, untuk
lima anak yang kelaparan, untuk membangun lagi
rumah yang kalian hancurkan, tapi, kenapa kapal
patrolimu menghancurkan jaring-jaring kami?
Kalau kami mengemis di jalan-jalan Gaza, tembak saja,
sebab pasti kau sangka kami membawa bom bunuh diri!
Terus Telusur...
Palestina, 1
di panggung kami, Kau, Tuhan,
kini adalah aktor pantomime
Di Palestina, lelaki Gaza
melepas kuffiyah dari leher
kafan bagi anak lelakinya
yang ditembus serpih mortir
Tuhan, bagaimana kami memahami-Mu
lewat pesawat tempur tentara Israel?
Bila harus Kau utus seorang Nabi lagi,
kami minta jangan ia datang dengan
sebaris laknat dan sejumlah janji.
Terus Telusur...
Palestina, 2
anak-anak murid di sekolah Jabalia,
ketika pasukan tempur Israel
menggerimiskan bom di sana?
Mungkin mereka sedang menghafal doa
agar terbentang payung di langit Gaza.
Terus Telusur...
Palestina, 3
APA yang Tuan bayangkan sebagai neraka?
Jalan-jalan di Kota Gaza terbelah jejak tank
tebal bermantel baja, sehabis menembak mati dua
lelaki Palestina di truk syarikat bangsa-bangsa
Gandum di truk itu sampai juga ke sisa kota,
sudut yang belum kau kirimkan api ke sana.
Mereka tak tahu darah siapa yang menembus
lalu beku menggumpal di serbuk sereal putih itu.
Tuan, apa yang Tuan bayangkan sebagai neraka?
Terus Telusur...
Palestina, 4
DI utara Gaza, kami hanya petani biasa
menanam stroberi untuk Eropa, tomat ceri
bagi Turki, kembang krisan untuk Yordan.
Kami tak betah pada Fatah, kami cemas Hamas.
Kami para petani biasa, di Utara Tanah Gaza.
Stroberi kami paling manis se-Palestina!
Dulu, kebun jeruk kami punya. Manis sarinya,
kuning emas kulitnya. Dulu, sebelum datang
buldozer Israel menumbangkan segalanya.
Lalu, kami hanya boleh menanam apa saja
asal jangan menyaingi petani-petani Yahudi.
Maka kami tanam stoberi termanis se-Palestina,
tapi tak kan pernah kami rasakan lagi manisnya.
Dua helikopter Apache Israel melanggar batas
yang mereka gariskan sendiri, menghancurkan
ladang kami, mereka bilang di sana disembunyikan
peluncur roket Qassam, padahal kami hanya
menanam stoberi, tomat ceri dan kembang krisan,
Padahal kami bukan Fatah, bukan Hamas, karena
kami cuma petani, di Utara Gaza, Palestina kami.
Lihat, potret anak kami, teramat muda ketika
ia mati. Dan, dua belas adiknya, tak lagi mau
mendengarkan kami, tak mau lagi belajar mengaru
dan menyiang gulma di ladang stroberi kami.
Kalau kami dengar suara roket diluncurkan,
kami kira seorang anak kami telah merakit
dan meluncurkannya. Kami berharap roket itu
tidak menghantam ladang-ladang jeruk di tanah
subur di seberang batas sana, tanah kami juga.
Terus Telusur...
December 30, 2008
9 Pertanyaan untuk Richard Oh: Menggenggam Dunia lewat Buku

dari Jurnal Nasional
DEMI kecintaannya pada buku, Richard Oh rela meninggalkan bisnis periklanan yang sudah ia tekuni selama belasan tahun. Kemudian lelaki kelahiran Tebingtinggi, 30 Oktober 1959, ini mendirikan sebuah toko buku. Sebuah impian lama yang masih tersimpan rapi di dalam benaknya.
Tak hanya itu, sebagai bukti kecintaannya pada dunia kesusasteraan, pemilik toko buku Quality Buyers (QB) World ini menyelenggarakan Khatulistiwa Literary Award (KLA). Sebuah ajang yang bertujuan mendukung proses kreatif para penulis. Sayangnya langkah Richard tersebut tidak hanya menuai pujian, sejumlah kecaman terhadap KLA juga dialamatkan kepada ayah tiga orang anak ini. Berikut petikan obrolan Richard dengan Jurnal Nasional di Galeri Cemara, Jakarta, beberapa waktu lalu.
1. Apa yang menarik Anda ke dunia sastra, bukankah Anda sudah punya bisnis yang mapan?
Sejak kecil saya gemar membaca. Bagi seorang anak yang hidup di kota kecil seperti saya, buku menjadi sebuah jendela untuk melihat dunia luar. Saya selalu menyisihkan uang jajan supaya dapat membeli buku.
Saya memiliki pengalaman berkesan ketika masih kecil. Waktu itu saya menyukai buku Tuanku Rao. Buku itu termasuk langka, diterbitkan tahun 1965 dan bercerita mengenai masuknya Islam ke Tanah Batak. Suatu saat di sebuah bazar buku, saya melihat buku tersebut. Kemudian saya masuk dan bertanya pada penjaganya berapa harga buku itu. Kemudian ia memberikan buku itu pada saya dan berkata, "Aku kenal kau, kau amat mencintai buku. Ini adalah dari aku untukmu."
2. Apa keluarga Anda waktu itu mendukung minat Anda akan kesusasteraan?
Seperti orang keturunan pada umumnya, keluarga tidak terlalu mendukung saya untuk aktif di dunia kesenian. Mereka lebih senang jika saya menggeluti bisnis dan mencari kesuksesan secara materi.
Kemudian setelah menikah, saya melanjutkan pendidikan saya di Sastra Inggris dan Pengarangan dari Universitas Wisconsin, Madison, Amerika Serikat. Ketika itu keluarga saya setuju-setuju saja, meski pasti ada kompleksitas yang harus dihadapi.
3. Sepulangnya Anda dari Amerika, Anda langsung berkecimpung di dunia sastra?
Tidak. Pulang dari Amerika saya bekerja di beberapa perusahaan periklanan. Beberapa tahun kemudian saya mendirikan perusahaan sendiri. Cukup sukses, kami memiliki ge-dung sendiri dan berhasil memenangkan beberapa penghargaan.
Dunia periklanan cukup menarik karena di sana saya dituntut untuk kreatif dan bermain-main dengan imajinasi. Tetapi, entah kenapa, setelah menjalaninya selama 15 tahun saya mulai merasa jenuh.
Puncaknya pada kerusuhan 1998, saya berpikir untuk mengubah hidup saya. Saya ingin mengisi hidup dengan hal-hal yang saya senangi, yaitu buku. Kemudian saya membuka Quality Buyers (QB) World dan memilih untuk menghabiskan waktu dengan teman-teman sastrawan dan film maker.
4. Apa pasar QB World cukup menjanjikan?
Tidak juga. Pasar buku-buku impor kecil, saya sudah buktikan, sebesar apa pun toko yang didirikan penghasilannya tetap sama. Meski secara ekonomi tidak menghasilkan banyak uang, saya cukup senang karena bisa memuaskan obsesi lama saya.
Saat ini banyak pemodal besar seperti Gajah Tunggal (Kinokuniya), Aksara dan nggak lama lagi grupnya Lippo bermain di ranah yang sama. Saya senang karena pencinta buku akan memiliki banyak pilihan. Tetapi, saya sedikit kecewa dengan pemilihan buku mereka yang kurang selektif dan hanya memenuhi kebutuhan kalangan itu-itu saja.
5. Apa yang melatarbelakangi Anda membuat Khatulistiwa Literary Award (KLA)?
Konsep awal yang saya bicarakan bersama Sutardji Calzoum Bahri, Danarto, dan seorang teman dari Jepang adalah membuat penghargaan sastra yang diberikan oleh kalangan sastrawan itu sendiri. Tujuannya mendorong para penulis untuk tetap berkarya.
Hadiah yang kami berikan juga cukup besar yaitu Rp100 juta untuk kategori puisi dan prosa, serta hadiah Rp25 juta untuk penulis pemula. Hadiah tersebut cukup bagi teman-teman agar setidaknya dapat berkonsentrasi selama setahun untuk menghasilkan karya.
Saya sering mendengar dari teman-teman tentang award ini dan award itu yang seringkali hadiahnya dipotong. Umpamanya hadiahnya Rp50 juta, tapi ternyata yang turun cuma Rp5 juta.
6. Bagaimana mekanisme penilaiannya?
KLA memiliki mekanisme penilaian sendiri. Karya-karya dinilai secara bertahap oleh beberapa dewan juri yang berasal dari kalangan sastrawan yang karyanya tidak menjadi peserta, akademisi serta wartawan yang medianya memiliki rubrik budaya.
Kalau panitia sudah memilih ketua juri, ketua terpilih bertanggung jawab untuk memilih anggota juri. Kemudian ada tiga tahap pemilihan, tahap pertama sekian orang juri memilih sekian buku yang telah diterbitkan dalam kurun waktu 12 bulan, mulai dari Juni tahun lalu sampai Juni tahun sekarang.
Semua karya harus orisinal belum pernah diterbitkan di mana-mana, dalam bentuk sastra, kategori sastra dan tidak merupakan terjemahan, atau perkembangan dari cerita lain. Setelah tahap pertama sepuluh karya dipilih, tahap kedua penilaian dilakukan oleh kelompok juri yang berbeda lagi dan mereka akan memilih lima dari sepuluh karya di tahap pertama. Pada tahap ketiga akan ditentukan siapa pemenangnya, juga oleh juri berbeda dan diumumkan pada akhir tahun.
7. Bagaimana tanggapan Anda terhadap pihak-pihak yang mengecam diselenggara-kannya KLA?
Saya pikir pihak-pihak yang mengecam penyelenggaraan KLA tidak mengerti mengenai apa yang ingin kita ciptakan. Tetapi, saya sadar tidak ada penghargaan yang pemenangnya disepakati oleh semua pihak.
Banyak yang mengkritik macam-macam, komentar macam-macam tetapi itu semua saya anggap seperti animo yang belum tersalurkan. Kami hanya ingin memberikan hadiah yang cukup besar pada penulis, sehingga dengan hadiah itu mereka bisa berkonsentrasi pada karyanya.
8. Apakah kritikan itu berpengaruh pada Anda?
Iyalah. Capek juga delapan tahun bikin penghargaan nggak dihargain. Dikritik ini itu, yang menang juga sama komentarnya nyinyir. Padahal, saya sudah berusaha untuk terbu-ka.
Tahun depan saya mau mengubah sistem penilaian. Saya mau meniru penghargaan Goncourt yang ada di Prancis, di mana saya mengundang beberapa seniman yang capable untuk menilai sejumlah karya. Lalu mereka menentukan pemenangnya. Anggota dewan juri tidak dipublikasikan, yang dipublikasikan hanya ketuanya.
9. Apakah Anda sendiri seorang penulis sejati?
Apa yang saya lakukan selalu berkaitan dengan kreativitas terutama di bidang kepenu-lisan. Karena, sejak dulu saat sekolah di Amerika saya belajar sastra dan kepengarangan. Saya sendiri menulis tiga novel dalam bahasa Inggris. Kecenderungan saya selalu mengarah kepada kreasi yang menggunakan kata-kata, menciptakan sesuatu dengan medium penulisan.
Terus Telusur...
Sajak yang Ingin Saya Baca di Tahun 2009
2. Saya ingin membaca sajak yang peduli pada bahasa. Bukan sajak yang diperalat oleh penyairnya. Banyak penyair yang menunggangi bahasa lewat sajak, seolah itu ia lakukan untuk sajak, padahal dia melakukan itu untuk dirinya sendiri. Dari sajak-sajak yang demikian itu sajak dan bahasa tak dapat apa-apa. Hanya tertimpa beban saja.
3. Saya ingin membaca sajak yang lahir dari keasyikan penyairnya mencari bagaimana sesuatu diucapkan dalam sajaknya. Saya ingin penyair tidak hanya asyik pada apa yang dia ucapkan lewat sajaknya. Segala sesuatu di luar sajak sudah menyediakan bahan untuk diucapkan lewat sajak. Tugas penyair adalah mengucapkan hal itu dengan caranya sendiri, maka dia harus mencari cara yang khas, cara yang unik, cara yang asyik, cara yang Sajak.
4. Saya ingin membaca sajak yang membangkitkan gairah para kritikus. Saya percaya bahwa selama ini ketika kita merisaukan ketiadaan kritikus, maka yang pertama harus disalahkan adalah penyair sendiri. Penyair harus bertanya kenapa dia tidak bisa melahirkan karya yang menggoda kritikus, yang menggairahkan kerja-kerja kritik sastra.
5. Saya ingin membaca sajak yang memperkaya batin saya, bukan sajak yang membuat batin saya bangkrut. Saya ingin membaca sajak yang membuat saya pandai memaknainya, bukan membuat saya menyerah karena saya dibikin merasa bodoh.
Terus Telusur...
belajar menapak sajak
—untuk hasan aspahani
sebagai janin, aku enggan kembali ke rahim kata. aku ingin menjadi bayi. belajar duduk, belajar bersila. belajar berdiri, belajar berlari. belajar menapak sajak
sebagai bayi, aku enggan kembali ke masa kanak. aku ingin menjadi dewasa. bisa duduk, bisa bersila. bisa berdiri, bisa berlari. bisa menapak sajak
sebagai dewasa, aku enggan kembali ke dunia remaja. aku ingin menjadi renta. belajar duduk, belajar bersila. belajar berdiri, belajar berlari. menanggalkan jejak sajak
jakarta, desember 2008






